segera pulang, segalanya baik pada ujungnya.

alysia
2 min readJun 25, 2024

--

Gadis itu selalu paling pandai membangun rumah-rumah dan belantara luas dalam segala hal yang membuatnya bahagia. Teman-temannya, lagu milik band barat favoritnya, penyanyi korea yang ia gandrungi, tumpukan buku, karakter-karakter yang ia hidupkan dalam isi kepalanya, serta dibawah janji-janji Tuhan.

Gadis itu tak pernah tahu apa makna sebuah pulang sejak usia limabelas. Rumah selalu lebih dari sekedar dinding-dinding bata. Ia selalu ingin sebuah rumah dengan kasih sayang sebagai pondasinya, dinding-dinding diwarnai dengan senyum dan hangat cerita Ibu, lalu atapnya adalah pelukan dan lelucon milik Bapak — sebuah rumah yang hanya untuk mereka, tidak untuk lainnya,

Gadis itu selalu pulang pada segala hal yang bisa ia raih dengan dekat. Ia butuh sebuah tempat untuk melarikan diri. Tempat untuk membuat ia merasa memiliki sesuatu lebih dari dirinya. Ia selalu lari bahkan dari dirinya sendiri.

Gadis itu tidak suka merapikan, tetapi ia selalu ingin segalanya sempurna. Tumpukan pakaian yang belum disetrika, piring kotor, bekas gelas alkohol, sampah rokok, pecahan cermin, segala hal seperti seram yang membuatnya teringat monster dibawah kasurnya saat usia lima.

Kali ini ia ingin pulang, tetapi ia tidak pernah berani merapikan. Ia masih berlari, sampai tenaganya habis dan hampir mati. Ia tahu, ia harus pulang. Namun kemana adalah pertanyaan rumit isi kepala.

Gadis itu berbalik, sudah pukul dua belas malam lebih lima. Ia harus pulang. Ia membuka matanya lebar-lebar — kotor dan segala rupa menyeramkan jadi bayangannya kali ini. Merekat erat seperti sosok sahabat lama.

Ia belajar merapikan perlahan, meskipun setiap debu dan kotor itu merobek jantungnya. Darahnya menghitam membasuh segala luka tubuh yang suatu saat akan mengering. Semoga dari kering itu tumbuh kehidupan baru — sebuah harapan dan bahagia baru.

Ia belajar untuk percaya bahwa rumah selalu memiliki celah dan lubang. Tidak ada yang bisa benar-benar ia rapikan sempurna. Semoga celah itu menjadi tempat masuk lebih banyak cahaya — untuk tumbuh, untuk sembuh.

Gadis itu duduk di depan cermin. Ia meraup muka dengan kedua tangan penuh gemuruh hujan, merapal doa pelan “segalanya membaik pada ujungnya”

--

--