Kujumpai Rumah di Matamu

alysia
4 min readJul 15, 2023

--

Air yang tidur di pelupuk matamu itu kamu usap dengan saputangan yang dua tahun lalu aku jadikan hadiah ulang tahun sebab itu satu-satunya hal yang bisa kubeli dari gaji harianku sebagai pelukis jalanan. Waktu itu kamu bilang bahwa apapun dariku akan selalu jadi barang mahal tiada tanding.

“New York malam ini sepi..” Suaraku pelan, tapi di sela-sela tangisanmu kamu masih sempat menoleh memandangiku yang sibuk menyalakan rokok sisa satu dengan korek murahan yang sering macet itu.

Di apartment pinggiran, tempat yang tidak seluas rumah masa kecilmu, kita bicarakan banyak hal tentang dunia. Tentang bagaimana harga telur yang melonjak di Amerika, tentang perang dan runtuhnya mimpi-mimpi Timur Tengah, jejak barisan alien dan antariksa di Alaska, hingga konspirasimu yang bilang bahwa orang gila di depan apartment kita adalah korban eksperimen NASA. Setelah itu, kamu akan menangis saat aku mulai kirim cerita tentang seekor anjing yang mati kelaparan karena ditinggal pergi pemiliknya menuju kerajaan Tuhan. Terkadang, di sela-sela tangisanmu yang menggemaskan aku mulai mempertanyakan bagaimana kita tidak pernah kehabisan cerita dari lima tahun lalu hingga sepersekian detik sekarang . Hubungan yang kita bangun adalah kumpulan cerita yang panjang tanpa pernah ada kata selesai, atau setidaknya belum ada.

Sampai kapan kiranya apartment yang sudah jatuh tempo satu bulan ini bisa menampung seluruh cerita kita berdua?

It doesn’t give any sense, New York tidak akan pernah sepi..” Katamu sambil mendekatkan korek milikmu yang jauh lebih mahal pada ujung rokokku, membakarnya dengan harapan percakapan ini berlanjut hingga pukul tiga fajar.

“Aku sedang tidak ingin berdebat, aku cuma asal ngomong aja.”

“Tiba-tiba aku rindu Jakarta, gara-gara kamu bahas New York” Dari sela-sela bibirmu kamu ucapkan nama kota itu. Kota yang jadi alasan kita melarikan diri ke Amerika.

“Memang apa hubungannya?” Aku menyesap rokok di jemariku kuat-kuat, asapnya menghantam paru-paruku. Namun, sebanyak apapun rokok ini merusak tubuhku, satu-satunya hal yang membuatku bisa mati mendadak adalah kepulangan ke Jakarta. Aku membenci kota itu dan seluruh isinya. Satu-satunya hal yang bisa kuterima dari kota itu cuma kamu, andai kamu paham itu. Paham bahwa selama usiaku, orang yang menerimaku dengan tangan terbuka selain bidan rumah bordil yang menyelamatkan Ibu saat ia berusaha menggugurkanku dalam kandungan, ya hanya kamu saja. Kamu menjelma segala hal yang serba menerima meski kamu tahu bahwa aku cuma anak pinggiran dengan ibu seorang mucikari jalanan dan bapak entah pria yang mana. Ibu rajin meninggalkan bekas memar di kulitku sejak kecil sebab aku merengek untuk diantar bertemu bapak. Ibu bilang bapak tinggal di rumah gedongan, namun ia tidak tahu pasti wajah pria mana yang jadi Bapakku — terlalu banyak wajah yang datang dan pergi ke dalam hidupnya.

“Both cities, either Jakarta or New York, never sleep. They’re always wide awake.” Kamu menatapku kala mengatakan itu. Kemudian memalingkan wajah tanpa rasa bersalah setelah dengan mudahnya jadi penyebab pria sepertiku lumpuh dalam kedua manik yang menyimpan banyak masa depan, entah untuk siapa. Mungkin untukku dan anak-anak kita yang akan kita namai dengan nama-nama dewa yunani kesukaanmu. Atau untuk orang lain yang belum sempat kamu temui wujudnya karena masih dalam genggaman Tuhan. Jika benar begitu, aku akan mulai rajin ibadah untuk memohon pada Tuhan agar terus menyimpan pria itu dalam genggamanNya, atau mencabut nyawanya saja biar kamu bisa dengan penuh jadi tanggung jawabku.

“Tapi New York tidak sejahat Jakarta. Setidaknya New York berhasil kasih kita harapan baru”

“Emang kamu nggak ingin pulang ke Jakarta?” Kamu mengambil rokok diantara kedua mulutku lalu menyesapnya. “Merk yang ini pahit, nikotinnya terlalu keras” Aku mesem kecil melihatmu sibuk mereguk air soda sisa setengah untuk menghilangkan rasa pahit di lidahmu.

“Jakarta nggak pernah memberi kepulangan buat aku. Kota itu nggak pernah kasih aku kesempatan untuk merasa pulang. Merasa kalau disana aku punya sesuatu yang pantas kusebut rumah. Tidak dengan Ibuku dan rumah bordilnya, atau lukisanku dan pameran seninya.”

Kamu diam beberapa saat setelah mendengar pernyataanku sembari memandang luas langit yang selalu kalah saing dengan betapa luasnya mimpi yang aku bangun untuk kita berdua. Kali ini kamu tidak menangis seperti hari-hari biasa saat aku menceritakan tentang tragisnya masa kecil yang pernah jadi mimpi burukku setiap malam. Kamu selalu begitu, cengeng dan serba perasa. Mungkin dulu Tuhan ciptakan hatimu dari kain paling lembut di tanah surga.

“Tetapi manusia harus punya tempat pulang. Kalau aku pulang ke Jakarta, kamu pulang kemana?” Tanyamu seketika.

Kemudian, kita saling diam seolah jam dinding di apartment ini menolak berputar dan kita akan terus terjebak pada pukul dua belas malam lewat lima. Pulang yang aku cari setiap malam di balik selimut pada jam tidur, atau sarapan pagi sepiring untuk berdua, dan minuman soda serba setengah, juga sebatang rokok yang disesap bergantian cuma akan mengantarku pada jawaban bahwa kamu selalu bisa jadi rumah yang pandai membawaku pada perasaan pulang.

“Aku bisa pulang kemanapun asalkan selalu sama kamu.”

Lantas ujung dari segalanya, kedua manusia itu tahu betul bahwa Tuhan tidak pernah bilang bahwa surganya adalah rumah, atau ruangan yang dikelilingi tembok menjulang, atau sebuah kota dan gedung pencakar langit. Bahwa rumah adalah apa-apa yang membawa manusia pada perasaan pulang. Perasaan bahwa mereka tidak perlu mencari apa-apa lagi, dan tidak perlu melepaskan serta kehilangan apapun lagi. Perasaan penuh. Perasaan bahwa meski segalanya jauh dari kata layak, cukup selalu bersemayam disana — mendekap segala kurang, segala karena, dan segala hal yang tidak berterima.

--

--